SPEED LIMITER
Untuk alasan Safety, mobil dan motor mulai dipasang Speed Limiter yang
tujuannya agar kendaraan tersebut tidak dapat berjalan melebihi
kecepatan yang ditentukan. Umumnya penerapan Speed Limit ini diatur oleh
regulasi dari negara dimana kendaraan itu diperjual belikan.
Speed Limiter, bekerja berdasarkan sensor kecepatan kendaraan (Vehicle
Speed Sensor), yang kemudian apabila terdeteksi kecepatan melebihi batas
yang ditentukan, pada mesin injeksi, ECU akan memutus jalur bahan bakar
(Fuel Cut Off) atau ada juga yang menginterupsi pengapian. Bahkan
pabrikan mobil kencang Eropa: Mercedes, Audi dan BMW sepakat membatasi
top speed limit pada 250km/h (155mph), sementara Porsche tidak mau ikut
“klub 155″ itu.
REV LIMITER
Rev Limiter bertujuan untuk membatasi putaran mesin, agar mesin tidak
berjalan melebihi batas RPM (Rotation Per Minute) yang ditentukan
pabrikan mesin disesuaikan dengan karakter mesin itu sendiri.
Umumnya batas putaran mesin (Rev Limit) berkisar antara 6500 –
7500rpm tergantung dari pabrikan mesin. Mendekati angka tersebut,
biasanya pada Tachometer (indikator kecepatan puaran mesin) diberi tanda
/ bidang merah, atau sering disebut RED LINE. Dengan maksud agar driver
tidak menjalankan mesin pada Red Line (putaran mesin terlalu tinggi).
Putaran mesin yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kerusakan mesin yang cukup serius, disinilah fungsi Rev Limiter.
Sama dengan Speed Limiter, Rev limiter akan memutuskan jalur bahan bakar
(fuel cut off) atau ada juga yang menginterupsi sistem pengapian,
sehingga putaran mesin dapat diperhambat agar tidak menimbulkan
kerusakan komponen.
Seperti yang diceritakan di atas, banyak yang tertarik untuk membuang
fungsi Rev Limiter agar mesin dapat berputar tanpa dibatasi.
Cara tersebut tidak tepat, mengapa?
Setiap mesin punya grafik Power dan Torque yang berbeda-beda sesuai dengan spesifikasi mesinnya.
Grafik tersebut tentunya bisa didapat dengan alat DynoTest.
Mobil tersebut sedang melakukan DynoTest untuk mencari karakter mesin
yang baru saja dipasang unit Turbo. Diharapkan akan diperoleh data pada
putaran mesin berapa rpm Power dan Torque maksimalnya.
Pada grafik di bawah terlihat bahwa sebelum dipasang unit Turbo (keadaan
mesin standar), Powernya adalah 110.6HP pada 6300rpm, dan semakin
tinggi Power malah semakin menurun.
Terlihat juga pada grafik di atas, ketika unit turbo dipasang,
didapat Power sebesar 207.2HP pada 4600rpm, semakin tinggi putaran mesin
terlihat tenaga mesin menurun drastis.
Sekarang kita lihat mobil super yang dibangun rekan saya untuk event dragrace.
pada grafik di bawah, terlihat Power sebesar 400HP pada 6300rpm, putaran mesin lebih tinggi tenaga kembali menurun.
Nah dengan panduan DynoTest, pabrikan menetapkan point Rev Limiter
sesuai dengan karakter Peak Power & Torque dari mesin tersebut.
Jadi tidak berarti putaran mesin makin tinggi adalah semakin baik atau semakin kencang. Terbukti kurva power malah turun.
Para tuner / pemodifikasi mesin, mengaplikasikan berbagai performance
parts, mulai dari knalpot (termasuk header, downpipe hingga muffler),
fuel pump, injector, sistem pengapian, camshaft, engine management,
penyetelan cam, mengurangi bobot crankshaft, dan sebagainya sesuai
dengan target yang diharapkan.
Setelah semua unit terpasang, melalui pengukuran DynoTest akan didapat
karakter mesin tersebut akan mengeluarkan daya dan torsi (Power &
Torque) pada rpm berapa, bagaimana kurvanya, boost pada rpm berapa dan
sebagainya.
Dari data tersebut, sang tuner / modifikator akan melakukan adjustment dan optimalisasi.
Adjustment bisa dengan cara menambahkan Piggyback ECU, atau ada juga
yang meReMap ECU, termasuk juga menggeser point Rev Limiter apabila diperlukan.
Pada dashboard sering ditambahkan tachometer tambahan yang dilengkapi
lampu peringatan untuk mengganti gigi pada rpm yang telah diset
sebelumnya. Ini sangat membantu, karena kita akan pindah gigi pada
putaran mesin yang optimal (berdasarkan data hasil DynoTest).
Some About Life and Cars
Some About Life and Cars
Jumat, 20 April 2012
Jumat, 10 Februari 2012
Initial D
Entahlah kenapa gw sampai tergila gila ama anime satu ini, mungkin karena kegilaanya, iseng, sleeper, or wrong attitude yang dilakukan mereka. Gw sendiri juga bingung kenapa gw sendiri tersugesti buat ngelakuin hal hal gila itu (sometimes sih :D), terakhira gw ngelakuin hal gila itu gw kecelakaan beruntun (malah curcol). Terkadang gw sendiri kalo nyetir juga bosen, pengen ngerasaain force feedback dari steering, tapi sampe sekarang gw sendiri belom pernah nyoba ngepot dengan sempurna, maklum gw sendiri juga ababil :D.Nih salah satu hal gila di anime itu, yang bikin gw sendiri jadi fanboy
Rabu, 18 Januari 2012
[INSPIRATIF] Pidato kunjungan Bpk BJ Habibie ke Garuda Indonesia
KUNJUNGAN BAPAK BJ HABIBIE
Kantor Manajemen Garuda Indonesia
Garuda City Complex, Bandara Soekarno-Hatta
12 Januari 2012
Pada usianya 74 tahun, mantan Presiden RI, BJ Habibie secara mendadak mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung, Ilham Habibie dan keponakannya(?), Adri Subono, juragan Java Musikindo.
Kunjungan beliau dan rombongan disambut oleh President & CEO, Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area Manager yang sedang berada di Jakarta.
Dalam kunjungan ini, diputar video mengenai Garuda Indonesia Experience dan presentasi perjalanan kinerja Garuda Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2015 menuju Quantum Leap.
Sebagai “balasan” pak Habibie memutarkan video tentang penerbangan perdana N250 di landasan bandara Husein Sastranegara, IPTN Bandung tahun 1995 (tujuh belas tahun yang lalu!).
Entah, apa pasalnya dengan memutar video ini?
Video N250 bernama Gatotkaca terlihat roll-out kemudian tinggal landas secara mulus di-
escort oleh satu pesawat latih dan sebuah pesawat N235. Pesawat N250 jenis Turboprop dan teknologi glass cockpit dengan kapasitas 50 penumpang terus mengudara di angkasa Bandung.
Dalam video tsb, tampak para hadirin yang menyaksikan di pelataran parkir, antara lain Presiden RI Bapak Soeharto dan ibu, Wapres RI bapak Soedarmono, para Menteri dan para pejabat teras Indonesia serta para teknisi IPTN. Semua bertepuk tangan dan mengumbar senyum kebanggaan atas keberhasilan kinerja N250. Bapak Presiden kemudian berbincang melalui radio komunikasi dengan pilot N250 yang di udara, terlihat pak Habibie mencoba mendekatkan telinganya di headset yang dipergunakan oleh Presiden Soeharto karena ingin ikut mendengar dengan pilot N250.
N250 sang Gatotkaca kembali pangkalan setelah melakukan pendaratan mulus di landasan..................
Di hadapan kami, BJ Habibie yang berusia 74 tahun menyampaikan cerita yang lebih kurang sbb:
“Dik, anda tahu..............saya ini lulus SMA tahun 1954!” beliau membuka pembicaraan dengan gayanya yang khas penuh semangat dan memanggil semua hadirin dengan kata “Dik” kemudian secara lancar beliau melanjutkan.................“Presiden Soekarno, Bapak Proklamator RI, orator paling unggul, .......itu sebenarnya memiliki visi yang luar biasa cemerlang! Ia adalah Penyambung Lidah Rakyat! Ia tahu persis sebagai Insinyur.........Indonesia dengan geografis ribuan pulau, memerlukan penguasaan Teknologi yang berwawasan nasional yakni Teknologi Maritim dan Teknologi Dirgantara. Kala itu, tak ada ITB dan tak ada UI. Para pelajar SMA unggulan berbondong-bondong disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu teknologi Maritim dan teknologi dirgantara. Saya adalah rombongan kedua diantara ratusan pelajar SMA yang secara khusus dikirim ke berbagai negara. Pendidikan kami di luar negeri itu bukan pendidikan kursus kilat tapi sekolah bertahun-tahun sambil bekerja praktek. Sejak awal saya hanya tertarik dengan ‘how to build commercial aircraft’ bagi Indonesia. Jadi sebenarnya Pak Soeharto, Presiden RI kedua hanya melanjutkan saja program itu, beliau juga bukan pencetus ide penerapan ‘teknologi’ berwawasan nasional di Indonesia. Lantas kita bangun perusahaan-perusahaan strategis, ada PT PAL dan salah satunya adalah IPTN.
Sekarang Dik,............anda semua lihat sendiri..............N250 itu bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan, tenologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk 30 tahun kedepan, diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal, satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi ‘Fly by Wire’ bahkan sampai hari ini. Rakyat dan negara kita ini membutuhkan itu! Pesawat itu sudah terbang 900 jam (saya lupa persisnya 900 atau 1900 jam) dan selangkah lagi masuk program sertifikasi FAA. IPTN membangun khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara itu.Namun, orang Indonesia selalu saja gemar bersikap sinis dan mengejek diri sendiri ‘apa mungkin orang Indonesia bikin pesawat terbang?’
Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya.
Dik tahu................di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan Indonesia.............
Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan Eropa................
Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua.....................?
Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun.
Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!”
Pak Habibie menghela nafas.......................
Ini pandangan saya mengenai cerita pak Habibie di atas;
Sekitar tahun 1995, saya ditugaskan oleh Manager Operasi (JKTOF) kala itu, Capt. Susatyawanto untuk masuk sebagai salah satu anggota tim Airline Working Group di IPTN dalam kaitan produksi pesawat jet sekelas B737 yang dikenal sebagai N2130 (kapasitas 130 penumpang). Saya bersyukur, akhirnya ditunjuk sebagai Co-Chairman Preliminary Flight Deck Design N2130 yang langsung bekerja dibawah kepala proyek N2130 adalah Ilham Habibie. Kala itu N250 sedang uji coba terus-menerus oleh penerbang test pilot (almarhum) Erwin. Saya turut mendesain rancang-bangun kokpit N2130 yang serba canggih berdasarkan pengetahuan teknis saat menerbangkan McDonnel Douglas MD11. Kokpit N2130 akan menjadi mirip MD11 dan merupakan kokpit pesawat pertama di dunia yang mempergunakan LCD pada panel instrumen (bukan CRT sebagaimana kita lihat sekarang yang ada di pesawat B737NG). Sebagian besar fungsi tampilan layar di kokpit juga mempergunakan “track ball atau touch pad” sebagaimana kita lihat di laptop. N2130 juga merupakan pesawat jet single aisle dengan head room yang sangat besar yang memungkinkan penumpang memasuki tempat duduk tanpa perlu membungkukkan badan. Selain high speed sub-sonic, N2130 juga sangat efisien bahan bakar karena mempergunakan winglet, jauh sebelum winglet dipergunakan di beberapa pesawat generasi masa kini.
Saya juga pernah menguji coba simulator N250 yang masih prototipe pertama.................
N2130 narrow body jet engine dan N250 twin turboprop, keduanya sangat handal dan canggih kala itu.........bahkan hingga kini.
Lamunan saya ini, berkecamuk di dalam kepala manakala pak Habibie bercerita soal N250, saya memiliki kekecewaan yang yang sama dengan beliau, seandainya N2130 benar-benar lahir.............kita tak perlu susah-susah membeli B737 atau Airbus 320.
Pak Habibie melanjutkan pembicaraannya....................
“Hal yang sama terjadi pada prototipe pesawat jet twin engines narrow body, itu saya tunjuk Ilham sebagai Kepala Proyek N2130. Ia bukan karena anak Habibie, tapi Ilham ini memang sekolah khusus mengenai manufakturing pesawat terbang, kalau saya sebenarnya hanya ahli dalam bidang metalurgi pesawat terbang. Kalau saja N2130 diteruskan, kita semua tak perlu tergantung dari Boeing dan Airbus untuk membangun jembatan udara di Indonesia”.
“Dik, dalam industri apapun kuncinya itu hanya satu QCD,
− Q itu Quality, Dik, anda harus buat segala sesuatunya berkualitas tinggi dan konsisten− C itu Cost, Dik, tekan harga serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis− D itu Delivery, biasakan semua produksi dan outcome berkualitas tinggi dengan biaya paling efisien dan disampaikan tepat waktu!Itu saja!”
Pak Habibie melanjutkan penjelasan tentang QCD sbb:
“Kalau saya upamakan, Q itu nilainya 1, C nilainya juga 1 lantas D nilainya 1 pula, jika dijumlah maka menjadi 3. Tapi cara kerja QCD tidak begitu Dik.............organisasi itu bekerja saling sinergi sehingga yang namanya QCD itu bisa menjadi 300 atau 3000 atau bahkan 30.000 sangat tergantung bagaimana anda semua mengerjakannya, bekerjanya harus pakai hati Dik..................”
Tiba-tiba, pak Habibie seperti merenung sejenak mengingat-ingat sesuatu ...........................
“Dik, ..........saya ini memulai segala sesuatunya dari bawah, sampai saya ditunjuk menjadi Wakil Dirut perusahaan terkemuka di Jerman dan akhirnya menjadi Presiden RI, itu semua bukan kejadian tiba-tiba. Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, ...........ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya............saya mau kasih informasi........... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu........................”
Pak Habibie menghela nafas panjang dan tampak sekali ia sangat emosional serta mengalami luka hati yang mendalam.............................seisi ruangan hening dan turut serta larut dalam emosi kepedihan pak Habibie, apalagi aku tanpa terasa air mata mulai menggenang.
Dengan suara bergetar dan setengah terisak pak Habibie melanjutkan........................
“Dik, kalian tau.................2 minggu setelah ditinggalkan ibu............suatu hari, saya pakai piyama tanpa alas kaki dan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sendirian sambil memanggil-manggil nama ibu......... Ainun......... Ainun ................. Ainun ..............saya mencari ibu di semua sudut rumah.
Para dokter yang melihat perkembangan saya sepeninggal ibu berpendapat ‘Habibie bisa mati dalam waktu 3 bulan jika terus begini..............’ mereka bilang ‘Kita (para dokter) harus tolong Habibie’.
Para Dokter dari Jerman dan Indonesia berkumpul lalu saya diberinya 3 pilihan;
1. Pertama, saya harus dirawat, diberi obat khusus sampai saya dapat mandiri meneruskan hidup. Artinya saya ini gila dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa!2. Opsi kedua, para dokter akan mengunjungi saya di rumah, saya harus berkonsultasi terus-menerus dengan mereka dan saya harus mengkonsumsi obat khusus. Sama saja, artinya saya sudah gila dan harus diawasi terus...............3. Opsi ketiga, saya disuruh mereka untuk menuliskan apa saja mengenai Ainun, anggaplah saya bercerita dengan Ainun seolah ibu masih hidup.
Saya pilih opsi yang ketiga............................”
Tiba-tiba, pak Habibie seperti teringat sesuatu (kita yang biasa mendengarkan beliau juga pasti maklum bahwa gaya bicara pak Habibie seperti meloncat kesana-kemari dan kadang terputus karena proses berpikir beliau sepertinya lebih cepat dibandingkan kecepatan berbicara dalam menyampaikan sesuatu) ...................... ia melanjutkan pembicaraannya;
“Dik, hari ini persis 600 hari saya ditinggal Ainun..............dan hari ini persis 597 hari Garuda Indonesia menjemput dan memulangkan ibu Ainun dari Jerman ke tanah air Indonesia.............
Saya tidak mau menyampaikan ucapan terima kasih melalui surat............. saya menunggu hari baik, berminggu-minggu dan berbulan-bulan untuk mencari momen yang tepat guna menyampaikan isi hati saya. Hari ini didampingi anak saya Ilham dan keponakan saya, Adri maka saya, Habibie atas nama seluruh keluarga besar Habibie mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, kalian, Garuda Indonesia telah mengirimkan sebuah Boeing B747-400 untuk menjemput kami di Jerman dan memulangkan ibu Ainun ke tanah air bahkan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan. Sungguh suatu kehormatan besar bagi kami sekeluarga. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan Garuda Indonesia”
Seluruh hadirin terhenyak dan saya tak kuasa lagi membendung air mata..............................
Setelah jeda beberapa waktu, pak Habibie melanjutkan pembicaraannya;
“Dik, sebegitu banyak ungkapan isi hati kepada Ainun, lalu beberapa kerabat menyarankan agar semua tulisan saya dibukukan saja, dan saya menyetujui.....................
Buku itu sebenarnya bercerita tentang jalinan kasih antara dua anak manusia. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras tertentu. Isi buku ini sangat universal, dengan muatan budaya nasional Indonesia. Sekarang buku ini atas permintaan banyak orang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, antara lain Inggris, Arab, Jepang..... (saya lupa persisnya, namun pak Habibie menyebut 4 atau 5 bahasa asing).Sayangnya buku ini hanya dijual di satu toko buku (pak Habibie menyebut nama satu toko buku besar), sudah dicetak 75.000 eksemplar dan langsung habis. Banyak orang yang ingin membaca buku ini tapi tak tahu dimana belinya. Beberapa orang di daerah di luar kota besar di Indonesia juga mengeluhkan dimana bisa beli buku ini di kota mereka.
Dik, asal you tahu............semua uang hasil penjualan buku ini tak satu rupiahpun untuk memperkaya Habibie atau keluarga Habibie. Semua uang hasil penjualan buku ini dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk oleh saya dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya adalah para penyandang tuna netra. Kasihan mereka ini sesungguhnya bisa bekerja dengan nyaman jika bisa melihat.
Saya berikan diskon 30% bagi pembeli buku yang jumlah besar bahkan saya tambahkan lagi diskon 10% bagi mereka karena saya tahu, mereka membeli banyak buku pasti untuk dijual kembali ke yang lain.
Sekali lagi, buku ini kisah kasih universal anak manusia dari sejak tidak punya apa-apa sampai menjadi Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara. Isinya sangat inspiratif...................”
(pada kesempatan ini pak Habibie meminta sesuatu dari Garuda Indonesia namun tidak saya tuliskan di sini mengingat hal ini masalah kedinasan).
Saya menuliskan kembali pertemuan pak BJ Habibie dengan jajaran Garuda Indonesia karena banyak kisah inspiratif dari obrolan tersebut yang barangkali berguna bagi siapapun yang tidak sempat menghadiri pertemuan tsb. Sekaligus mohon maaf jika ada kekurangan penulisan disana-sini karena tulisan ini disusun berdasarkan ingatan tanpa catatan maupun rekaman apapun.
Jakarta, 12 Januari 2012
Salam,
Capt. Novianto Herupratomo
Kantor Manajemen Garuda Indonesia
Garuda City Complex, Bandara Soekarno-Hatta
12 Januari 2012
Pada usianya 74 tahun, mantan Presiden RI, BJ Habibie secara mendadak mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung, Ilham Habibie dan keponakannya(?), Adri Subono, juragan Java Musikindo.
Kunjungan beliau dan rombongan disambut oleh President & CEO, Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area Manager yang sedang berada di Jakarta.
Dalam kunjungan ini, diputar video mengenai Garuda Indonesia Experience dan presentasi perjalanan kinerja Garuda Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2015 menuju Quantum Leap.
Sebagai “balasan” pak Habibie memutarkan video tentang penerbangan perdana N250 di landasan bandara Husein Sastranegara, IPTN Bandung tahun 1995 (tujuh belas tahun yang lalu!).
Entah, apa pasalnya dengan memutar video ini?
Video N250 bernama Gatotkaca terlihat roll-out kemudian tinggal landas secara mulus di-
escort oleh satu pesawat latih dan sebuah pesawat N235. Pesawat N250 jenis Turboprop dan teknologi glass cockpit dengan kapasitas 50 penumpang terus mengudara di angkasa Bandung.
Dalam video tsb, tampak para hadirin yang menyaksikan di pelataran parkir, antara lain Presiden RI Bapak Soeharto dan ibu, Wapres RI bapak Soedarmono, para Menteri dan para pejabat teras Indonesia serta para teknisi IPTN. Semua bertepuk tangan dan mengumbar senyum kebanggaan atas keberhasilan kinerja N250. Bapak Presiden kemudian berbincang melalui radio komunikasi dengan pilot N250 yang di udara, terlihat pak Habibie mencoba mendekatkan telinganya di headset yang dipergunakan oleh Presiden Soeharto karena ingin ikut mendengar dengan pilot N250.
N250 sang Gatotkaca kembali pangkalan setelah melakukan pendaratan mulus di landasan..................
Di hadapan kami, BJ Habibie yang berusia 74 tahun menyampaikan cerita yang lebih kurang sbb:
“Dik, anda tahu..............saya ini lulus SMA tahun 1954!” beliau membuka pembicaraan dengan gayanya yang khas penuh semangat dan memanggil semua hadirin dengan kata “Dik” kemudian secara lancar beliau melanjutkan.................“Presiden Soekarno, Bapak Proklamator RI, orator paling unggul, .......itu sebenarnya memiliki visi yang luar biasa cemerlang! Ia adalah Penyambung Lidah Rakyat! Ia tahu persis sebagai Insinyur.........Indonesia dengan geografis ribuan pulau, memerlukan penguasaan Teknologi yang berwawasan nasional yakni Teknologi Maritim dan Teknologi Dirgantara. Kala itu, tak ada ITB dan tak ada UI. Para pelajar SMA unggulan berbondong-bondong disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu teknologi Maritim dan teknologi dirgantara. Saya adalah rombongan kedua diantara ratusan pelajar SMA yang secara khusus dikirim ke berbagai negara. Pendidikan kami di luar negeri itu bukan pendidikan kursus kilat tapi sekolah bertahun-tahun sambil bekerja praktek. Sejak awal saya hanya tertarik dengan ‘how to build commercial aircraft’ bagi Indonesia. Jadi sebenarnya Pak Soeharto, Presiden RI kedua hanya melanjutkan saja program itu, beliau juga bukan pencetus ide penerapan ‘teknologi’ berwawasan nasional di Indonesia. Lantas kita bangun perusahaan-perusahaan strategis, ada PT PAL dan salah satunya adalah IPTN.
Sekarang Dik,............anda semua lihat sendiri..............N250 itu bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan, tenologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk 30 tahun kedepan, diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal, satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi ‘Fly by Wire’ bahkan sampai hari ini. Rakyat dan negara kita ini membutuhkan itu! Pesawat itu sudah terbang 900 jam (saya lupa persisnya 900 atau 1900 jam) dan selangkah lagi masuk program sertifikasi FAA. IPTN membangun khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara itu.Namun, orang Indonesia selalu saja gemar bersikap sinis dan mengejek diri sendiri ‘apa mungkin orang Indonesia bikin pesawat terbang?’
Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya.
Dik tahu................di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan Indonesia.............
Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan Eropa................
Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua.....................?
Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun.
Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!”
Pak Habibie menghela nafas.......................
Ini pandangan saya mengenai cerita pak Habibie di atas;
Sekitar tahun 1995, saya ditugaskan oleh Manager Operasi (JKTOF) kala itu, Capt. Susatyawanto untuk masuk sebagai salah satu anggota tim Airline Working Group di IPTN dalam kaitan produksi pesawat jet sekelas B737 yang dikenal sebagai N2130 (kapasitas 130 penumpang). Saya bersyukur, akhirnya ditunjuk sebagai Co-Chairman Preliminary Flight Deck Design N2130 yang langsung bekerja dibawah kepala proyek N2130 adalah Ilham Habibie. Kala itu N250 sedang uji coba terus-menerus oleh penerbang test pilot (almarhum) Erwin. Saya turut mendesain rancang-bangun kokpit N2130 yang serba canggih berdasarkan pengetahuan teknis saat menerbangkan McDonnel Douglas MD11. Kokpit N2130 akan menjadi mirip MD11 dan merupakan kokpit pesawat pertama di dunia yang mempergunakan LCD pada panel instrumen (bukan CRT sebagaimana kita lihat sekarang yang ada di pesawat B737NG). Sebagian besar fungsi tampilan layar di kokpit juga mempergunakan “track ball atau touch pad” sebagaimana kita lihat di laptop. N2130 juga merupakan pesawat jet single aisle dengan head room yang sangat besar yang memungkinkan penumpang memasuki tempat duduk tanpa perlu membungkukkan badan. Selain high speed sub-sonic, N2130 juga sangat efisien bahan bakar karena mempergunakan winglet, jauh sebelum winglet dipergunakan di beberapa pesawat generasi masa kini.
Saya juga pernah menguji coba simulator N250 yang masih prototipe pertama.................
N2130 narrow body jet engine dan N250 twin turboprop, keduanya sangat handal dan canggih kala itu.........bahkan hingga kini.
Lamunan saya ini, berkecamuk di dalam kepala manakala pak Habibie bercerita soal N250, saya memiliki kekecewaan yang yang sama dengan beliau, seandainya N2130 benar-benar lahir.............kita tak perlu susah-susah membeli B737 atau Airbus 320.
Pak Habibie melanjutkan pembicaraannya....................
“Hal yang sama terjadi pada prototipe pesawat jet twin engines narrow body, itu saya tunjuk Ilham sebagai Kepala Proyek N2130. Ia bukan karena anak Habibie, tapi Ilham ini memang sekolah khusus mengenai manufakturing pesawat terbang, kalau saya sebenarnya hanya ahli dalam bidang metalurgi pesawat terbang. Kalau saja N2130 diteruskan, kita semua tak perlu tergantung dari Boeing dan Airbus untuk membangun jembatan udara di Indonesia”.
“Dik, dalam industri apapun kuncinya itu hanya satu QCD,
− Q itu Quality, Dik, anda harus buat segala sesuatunya berkualitas tinggi dan konsisten− C itu Cost, Dik, tekan harga serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis− D itu Delivery, biasakan semua produksi dan outcome berkualitas tinggi dengan biaya paling efisien dan disampaikan tepat waktu!Itu saja!”
Pak Habibie melanjutkan penjelasan tentang QCD sbb:
“Kalau saya upamakan, Q itu nilainya 1, C nilainya juga 1 lantas D nilainya 1 pula, jika dijumlah maka menjadi 3. Tapi cara kerja QCD tidak begitu Dik.............organisasi itu bekerja saling sinergi sehingga yang namanya QCD itu bisa menjadi 300 atau 3000 atau bahkan 30.000 sangat tergantung bagaimana anda semua mengerjakannya, bekerjanya harus pakai hati Dik..................”
Tiba-tiba, pak Habibie seperti merenung sejenak mengingat-ingat sesuatu ...........................
“Dik, ..........saya ini memulai segala sesuatunya dari bawah, sampai saya ditunjuk menjadi Wakil Dirut perusahaan terkemuka di Jerman dan akhirnya menjadi Presiden RI, itu semua bukan kejadian tiba-tiba. Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, ...........ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya............saya mau kasih informasi........... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu........................”
Pak Habibie menghela nafas panjang dan tampak sekali ia sangat emosional serta mengalami luka hati yang mendalam.............................seisi ruangan hening dan turut serta larut dalam emosi kepedihan pak Habibie, apalagi aku tanpa terasa air mata mulai menggenang.
Dengan suara bergetar dan setengah terisak pak Habibie melanjutkan........................
“Dik, kalian tau.................2 minggu setelah ditinggalkan ibu............suatu hari, saya pakai piyama tanpa alas kaki dan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sendirian sambil memanggil-manggil nama ibu......... Ainun......... Ainun ................. Ainun ..............saya mencari ibu di semua sudut rumah.
Para dokter yang melihat perkembangan saya sepeninggal ibu berpendapat ‘Habibie bisa mati dalam waktu 3 bulan jika terus begini..............’ mereka bilang ‘Kita (para dokter) harus tolong Habibie’.
Para Dokter dari Jerman dan Indonesia berkumpul lalu saya diberinya 3 pilihan;
1. Pertama, saya harus dirawat, diberi obat khusus sampai saya dapat mandiri meneruskan hidup. Artinya saya ini gila dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa!2. Opsi kedua, para dokter akan mengunjungi saya di rumah, saya harus berkonsultasi terus-menerus dengan mereka dan saya harus mengkonsumsi obat khusus. Sama saja, artinya saya sudah gila dan harus diawasi terus...............3. Opsi ketiga, saya disuruh mereka untuk menuliskan apa saja mengenai Ainun, anggaplah saya bercerita dengan Ainun seolah ibu masih hidup.
Saya pilih opsi yang ketiga............................”
Tiba-tiba, pak Habibie seperti teringat sesuatu (kita yang biasa mendengarkan beliau juga pasti maklum bahwa gaya bicara pak Habibie seperti meloncat kesana-kemari dan kadang terputus karena proses berpikir beliau sepertinya lebih cepat dibandingkan kecepatan berbicara dalam menyampaikan sesuatu) ...................... ia melanjutkan pembicaraannya;
“Dik, hari ini persis 600 hari saya ditinggal Ainun..............dan hari ini persis 597 hari Garuda Indonesia menjemput dan memulangkan ibu Ainun dari Jerman ke tanah air Indonesia.............
Saya tidak mau menyampaikan ucapan terima kasih melalui surat............. saya menunggu hari baik, berminggu-minggu dan berbulan-bulan untuk mencari momen yang tepat guna menyampaikan isi hati saya. Hari ini didampingi anak saya Ilham dan keponakan saya, Adri maka saya, Habibie atas nama seluruh keluarga besar Habibie mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, kalian, Garuda Indonesia telah mengirimkan sebuah Boeing B747-400 untuk menjemput kami di Jerman dan memulangkan ibu Ainun ke tanah air bahkan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan. Sungguh suatu kehormatan besar bagi kami sekeluarga. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan Garuda Indonesia”
Seluruh hadirin terhenyak dan saya tak kuasa lagi membendung air mata..............................
Setelah jeda beberapa waktu, pak Habibie melanjutkan pembicaraannya;
“Dik, sebegitu banyak ungkapan isi hati kepada Ainun, lalu beberapa kerabat menyarankan agar semua tulisan saya dibukukan saja, dan saya menyetujui.....................
Buku itu sebenarnya bercerita tentang jalinan kasih antara dua anak manusia. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras tertentu. Isi buku ini sangat universal, dengan muatan budaya nasional Indonesia. Sekarang buku ini atas permintaan banyak orang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, antara lain Inggris, Arab, Jepang..... (saya lupa persisnya, namun pak Habibie menyebut 4 atau 5 bahasa asing).Sayangnya buku ini hanya dijual di satu toko buku (pak Habibie menyebut nama satu toko buku besar), sudah dicetak 75.000 eksemplar dan langsung habis. Banyak orang yang ingin membaca buku ini tapi tak tahu dimana belinya. Beberapa orang di daerah di luar kota besar di Indonesia juga mengeluhkan dimana bisa beli buku ini di kota mereka.
Dik, asal you tahu............semua uang hasil penjualan buku ini tak satu rupiahpun untuk memperkaya Habibie atau keluarga Habibie. Semua uang hasil penjualan buku ini dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk oleh saya dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya adalah para penyandang tuna netra. Kasihan mereka ini sesungguhnya bisa bekerja dengan nyaman jika bisa melihat.
Saya berikan diskon 30% bagi pembeli buku yang jumlah besar bahkan saya tambahkan lagi diskon 10% bagi mereka karena saya tahu, mereka membeli banyak buku pasti untuk dijual kembali ke yang lain.
Sekali lagi, buku ini kisah kasih universal anak manusia dari sejak tidak punya apa-apa sampai menjadi Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara. Isinya sangat inspiratif...................”
(pada kesempatan ini pak Habibie meminta sesuatu dari Garuda Indonesia namun tidak saya tuliskan di sini mengingat hal ini masalah kedinasan).
Saya menuliskan kembali pertemuan pak BJ Habibie dengan jajaran Garuda Indonesia karena banyak kisah inspiratif dari obrolan tersebut yang barangkali berguna bagi siapapun yang tidak sempat menghadiri pertemuan tsb. Sekaligus mohon maaf jika ada kekurangan penulisan disana-sini karena tulisan ini disusun berdasarkan ingatan tanpa catatan maupun rekaman apapun.
Jakarta, 12 Januari 2012
Salam,
Capt. Novianto Herupratomo
Senin, 16 Januari 2012
Tipikal Ababil dan Konsumerisme
Ini adalah berdasarkan pengamatan saya, ya, yg saya amati adalah orang orang disekitar saya, pertama bagaimana seseorang lebih suka menggunakan blackberry karena hanya cuma segelintir fitur bbm yang sering digunakan/dipakai sebagai hiburan chat, dianggapan lain blackberry digunakan sebagai prestige orang orang berduit karena pemakaian pulsa yg boros (no offense, tergantung dari penggunaan orang juga sih, hehe. Kedua banyak anak muda labil yg lebih suka menggunakan mobil/motor sport, itu pun dia juga harus merengek pada orang tuanya, haduh bagaimana masa depan kalo masih tergantung ( sebenernya TS jg labil sih :D). Ketiga anggapan orang penggunaan behel, yg notabene behel merupakan sarana penata gigi, di Indonesia rata rata kebanyakan remaja Indonesia salah tafsir, malah digunakkan sebagai fashion. Padahal di luar sendiri orang yg menggunakan behel sudah dianggap orang cupu/kekurangan dalam bidang raut muka (no offense lagi, kenyataannya begitu :Peace), Keempat, kayanya masa sekarang udah kembali ke masa pra aksara lagi yah, yah berdasarkan pengamatan saya lagi, kebanyakan orang menggunakan pakaian minim, apalagi pakai rok mini ataupun celana mini (woy!! ngapain kaga pake bikini sekalian, kalo niat ngumbar nafsu). Kelima, jual diri, yap untuk mengatasi ini memang sangat sulit sekali karena dibutuhkan kesadaran diri pelaku untuk lebih mendekatkan pada Tuhannya. Fine segitu dulu, besok saya buat entri lagi :D
Selasa, 20 Desember 2011
Cewek
Mungkin sebagian besar dari kita mendengar kata cewek diartikan seorang yg akan mendampingi hidup kita dikemudian hari, namun untuk menaklukan cewek sendiri pun itu sangat susah (TS pun belum pernah LOL :) )
Cewek dalam benak saya seorang yg ingin dimengerti tetapi susah untuk dimengerti, sedikit bingung ya ! Ini alasan kenapa saya ogah ogahan dalam mengejar seorang cewek, cowok seperti saya lebih suka menjomblo tapi no maho. Eh, ini judul mau ngomongin tentang cewek kok malah ngomongin saya . Tapi as I see in this century, cewek jaman sekarang lebih seneng ama cowok berkantong, yah ababil. Cewek model kaya gini yg kaga saya sukai. Yah, moga aja suatu hari nanti saya bisa menemukan pujaan hati.( Eh ngelindur lagi nih isi)
Cewek dalam benak saya seorang yg ingin dimengerti tetapi susah untuk dimengerti, sedikit bingung ya ! Ini alasan kenapa saya ogah ogahan dalam mengejar seorang cewek, cowok seperti saya lebih suka menjomblo tapi no maho. Eh, ini judul mau ngomongin tentang cewek kok malah ngomongin saya . Tapi as I see in this century, cewek jaman sekarang lebih seneng ama cowok berkantong, yah ababil. Cewek model kaya gini yg kaga saya sukai. Yah, moga aja suatu hari nanti saya bisa menemukan pujaan hati.( Eh ngelindur lagi nih isi)
Kamis, 15 Desember 2011
A Brief Knowledge of Automobile Chassis
- Backbone Chassis
It is almost a trademark design feature of Czech Tatra heavy trucks (cross-country, military etc.) - Hans Ledwinka developed this style of chassis for Tatra 11 in 1923 with the model Tatra 11. He further enhanced the design with 6x4 model Tatra 26 which had excellent offroad abilities.
This type of chassis is also often found on some sports cars. It also does not provide protection against side collisions, and has to be combined with a body that would compensate for this shortcoming.
Examples of cars using a backbone chassis include DeLorean DMC-12, Lloyd 600, Lotus Elan, Lotus Esprit and Europa, Škoda 420 Popular, Tatra T-87, Tatra T111, Tatra T148, Tatra T815 etc., as well as TVR S1. Some cars also use a backbone as a part of the chassis to strengthen it; examples include the Volkswagen Beetle and the Locost where the transmission tunnel forms a backbone.
This type of chassis is also often found on some sports cars. It also does not provide protection against side collisions, and has to be combined with a body that would compensate for this shortcoming.
Examples of cars using a backbone chassis include DeLorean DMC-12, Lloyd 600, Lotus Elan, Lotus Esprit and Europa, Škoda 420 Popular, Tatra T-87, Tatra T111, Tatra T148, Tatra T815 etc., as well as TVR S1. Some cars also use a backbone as a part of the chassis to strengthen it; examples include the Volkswagen Beetle and the Locost where the transmission tunnel forms a backbone.
Advantages
- Standard conception truck's superstructure has to withstand the torsion twist and subsequent wear reduces vehicle's lifespan.
- The half-axles have better contact with ground when operated off the road. This has little importance on roads.
- The vulnerable parts of drive shaft are covered by thick tube. The whole system is extremely reliable, however if a problem occurs, repairs are more complicated.
- Modular system is enabling configurations of 2, 3, 4, 5, or 6-axle vehicles with various wheel bases.
- Manufacturing the backbone chassis is more complicated and more costly. However the more axles with all wheel drive are needed, the cost benefit turns in favor of backbone chassis.
- The backbone chassis is heavier for a given torsional stiffness than a uni-body.
Body-on-frame is an old automobile construction method. Mounting a separate body to a rigid frame that supports the drivetrain was the original method of building automobiles, and its use continues to this day. The original frames were made of wood (commonly ash), but steel ladder frames became common in the 1930s. It is technically not comparable to newer monocoque designs, almost no modern vehicle uses it (other than trucks).
In the USA the frequent changes in automobile design made it necessary to use a ladder frame rather than monocoque to make it possible to change the design without having to change the chassis, allowing frequent changes and improvements to the car's bodywork and interior (where they were most noticeable to customers) while leaving the chassis and driveline unchanged, and thus keeping cost down and design time short. It was also easy to use the same chassis and driveline for several very different cars. Especially in the days before computer-aided design, this was a big advantage.
Most small passenger vehicles switched to monocoque construction in the 1960s, but the trend had started in the 1930s with cars like the Opel Olympia, and Citroen Traction Avant leaving just trucks, some bus manufacturers and large cars using conventional frames. The switch continued for several decades - even small SUVs typically use this construction method today. Body-on-frame remains the preferred construction method for heavy-duty commercial vehicles, especially those intended to carry or pull heavy loads, such as trucks.
A halfway house to full monocoque construction was the 'semi-monocoque' used by the Volkswagen Beetle and Citroen 2CV. These used a lightweight separate chassis made from pressed sheet steel panels forming a 'platform chassis', to give the benefits of a traditional chassis, but with lower weight and greater stiffness. Both of these chassis were used for several different models. Volkswagen made use of the bodyshell for structural strength as well as the chassis - hence 'semi-monocoque'.
The Lincoln Town Car dominates the American limousine market because it is the last American luxury car made with body-on-frame, and therefore easily lengthened for livery work.
Most small passenger vehicles switched to monocoque construction in the 1960s, but the trend had started in the 1930s with cars like the Opel Olympia, and Citroen Traction Avant leaving just trucks, some bus manufacturers and large cars using conventional frames. The switch continued for several decades - even small SUVs typically use this construction method today. Body-on-frame remains the preferred construction method for heavy-duty commercial vehicles, especially those intended to carry or pull heavy loads, such as trucks.
A halfway house to full monocoque construction was the 'semi-monocoque' used by the Volkswagen Beetle and Citroen 2CV. These used a lightweight separate chassis made from pressed sheet steel panels forming a 'platform chassis', to give the benefits of a traditional chassis, but with lower weight and greater stiffness. Both of these chassis were used for several different models. Volkswagen made use of the bodyshell for structural strength as well as the chassis - hence 'semi-monocoque'.
The Lincoln Town Car dominates the American limousine market because it is the last American luxury car made with body-on-frame, and therefore easily lengthened for livery work.
Advantages
- Easier to design, build and modify (less of an issue now that Computer-Assisted Design (CAD) is commonplace, but still an advantage for coach-built vehicles).
- Quieter, because the stresses do not pass into the body, which is isolated from the frame with rubber pads around the attachment bolts. Less significant lately, but earlier bodies would squeak and rattle, ever more as they rusted, lubricants drained, and fasteners loosened. Isolated bodies had a lesser degree of these modes of aging.
- Easier to repair after accidents. Grand-Am allows tubular spaceframe cars to replace their monocoque counterparts, as the cars can easily be repaired with new clips.
- Could allow a manufacturer to easily sub-contract portions of work, e.g. as when Austin subcontracted the aluminum body work of the Austin A40 Sports to Jensen Motors.
Disadvantages
- Heavier than unibody - lower performance and/or higher fuel consumption.
- Far less resistant to torsional flexing (flexing of the whole car in corners) - compromising handling and road grip.
- No crumple zone - higher rate of death and serious injury. Some cars have adopted a "front clip" and "rear clip" format similar to what is used in NASCAR race cars where the car is split into three sections, and the clips absorb the impact, allowing the "clip" to be replaced when repairing the car.
- Structurally poor utilization of material.
An Exoskeleton car has a visible external frame, being made of steel or carbon fiber tubes. The simplistic construction of the vehicle follows Colin Chapman's philosophy of maximising the power-to-weight ratio by minimising weight rather than simply adding power. Early monocoque racing cars such as the Lotus 25 had their chassis exposed but the term exoskeletal is more usually reserved for vehicles with an exposed spaceframe, such as sandrails, dune buggies or specialized light weight track cars.
Examples of exoskeleton cars
Monocoque (pronounced /ˈmɒnɵkɒk/ or /ˈmɒnɵkoʊk/) is a construction technique that supports structural load by using an object's exterior, as opposed to using an internal frame or truss that is then covered with a non-load-bearing skin or coachwork. The word monocoque comes from the Greek for single (mono) and French for shell (coque). The technique may also be called structural skin, stressed skin, unit body, unibody, unitary construction, or Body Frame Integral (BFI).
Monocoque construction was pioneered in aircraft, with early designs appearing circa 1916, and entered wide use in the 1930s. Automobiles used monocoque designs as early as 1923 but widespread adoption did not begin until the second half of the 20th century. Today, a welded unit body is the predominant automobile construction technique. Monocoque designs also appear in motorcycles, boat hulls and architecture.
Automobile designs originally used body-on-frame construction, where a load-bearing chassis consisting of frame, powertrain, and suspension formed the base vehicle, and supported a non-load-bearing body or coachwork. Over time, this was supplanted by monocoque designs, integrating the body and chassis into a single unit. The external panels may be stressed, in such cases as the rocker panels, windshield frame and roof pillars, or non-stressed, as is often the case with fenders. Today, spot welded unit body is the dominant technique, although some vehicles (particularly trucks and buses) still use body-on-frame.
Early designs
The first automotive application of the monocoque technique was 1923's Lancia Lambda, but it was not a true monocoque because it did not have a stressed roof, it was akin to a boat and has been described as 'punt' type construction. In 1928 German motorcycle manufacturer DKW launched their first car, the P15 wood and fabric bodied monocoque car. The Airflow and Traction Avant steel partially monocoque cars (stressed panels on internal frames) were both launched in 1934. General Motors subsidiary Opel then followed with the Olympia in 1935. In 1936, Lincoln introduced the Zephyr, a monocoque design which was as strong as the Airflow yet much lighter.
A halfway house to full monocoque construction was the 'semi-monocoque' used by the 1930s designed Volkswagen Beetle. This used a lightweight separate chassis made from pressed sheet steel panels forming a 'platform chassis', to give the benefits of a traditional chassis, but with lower weight and greater stiffness. This chassis was used for several different models. Volkswagen made use of the bodyshell for structural strength as well as the chassis - hence 'semi-monocoque'.
Nash Motors introduced this type of construction in 1941 with the new 600, generally credited with being the first popular mass-produced unibody construction automobile made in the United States. The all-welded steel with sturdy bridge-like girders that arched front to rear made for improved strength, safety, and durability. Nash engineers claimed that about 500 pounds of excess weight was cut out (compared to body-on-frame automobiles) and the body's lower air drag helped it to achieve better fuel economy. The company's 1942 news release text attached to the X-ray drawing describes how "... all auto bodies will be built ... as this some day...".
Developments after 1945
After World War II the technique came into wider use. The Alec Issigonis Morris Minor of 1948 featured a monocoque body, as did the Hudson Motor range of the same period. General Motors-Holden in Australia built the monocoque-bodied Australian Holden of 1948. Other automakers incorporated this type of construction, and the terms unit body and unibody became more common in general use. The Ford Consul was the first Ford built in England using a unibody.
In 1960, a major breakthrough in unibody construction was reached in mass-produced Detroit vehicles with over 99% of Chrysler vehicles produced that year being fully unitized; some of the basic designs surviving almost untouched through the mid 1970s (for example: Valiant, Dart, etc.) with tens of millions eventually produced. Convertible versions needed special supports welded underneath to compensate for the "missing" shape on the top.
American Motors (AMC) continued its engineering heritage from Nash and Hudson, in 1963 combining separate parts into single stampings. The Rambler Classic had "uniside" door-surrounds from a single stamping of steel: this reduced weight and assembly-costs, as well as increasing structural rigidity and improving door fitment.
In 1960, a major breakthrough in unibody construction was reached in mass-produced Detroit vehicles with over 99% of Chrysler vehicles produced that year being fully unitized; some of the basic designs surviving almost untouched through the mid 1970s (for example: Valiant, Dart, etc.) with tens of millions eventually produced. Convertible versions needed special supports welded underneath to compensate for the "missing" shape on the top.
American Motors (AMC) continued its engineering heritage from Nash and Hudson, in 1963 combining separate parts into single stampings. The Rambler Classic had "uniside" door-surrounds from a single stamping of steel: this reduced weight and assembly-costs, as well as increasing structural rigidity and improving door fitment.
5.
Monocoque : part 2
Hybrid designs
In automobiles, it is now common to see true monocoque frames, where the structural members around the window and door frames are built by folding the skin material several times. In these situations the main concerns are spreading the load evenly, having no holes for corrosion to start, and reducing the overall workload. Compared to older techniques, in which a body is bolted to a frame, monocoque cars are less expensive, lighter, more rigid, and can be more protective of occupants in a crash when appropriately designed. The use of higher strength steels in panels at points of high stress has increased strength and rigidity without increasing weight.
In sophisticated monocoque designs, the windshield and rear window glass is bonded in place and often makes an important contribution to the designed structural strength of automobiles.
In sophisticated monocoque designs, the windshield and rear window glass is bonded in place and often makes an important contribution to the designed structural strength of automobiles.
Disadvantages
Unfortunately, when a vehicle with a unibody design is involved in a serious accident, it may be more difficult to repair than a vehicle with a full frame. Rust can be more of a problem, since the structural metal is part of the load-bearing structure (of metal that is much thinner than a conventional chassis) making it more critical, and must be repaired by cutting-out and welding rather than by simply bolting on new parts (as would be the case for a separate chassis). Structural rust of monocoque cars was a serious problem until the 1990s. Since then, more and more car makers have adopted protection techniques such as galvanizing for structural areas or for the whole body.
6.
Spaceframe
A space frame or space structure is a truss-like, lightweight rigid structure constructed from interlocking struts in a geometric pattern. Space frames can be used to span large areas with few interior supports. Like the truss, a space frame is strong because of the inherent rigidity of the triangle; flexing loads (bending moments) are transmitted as tension and compression loads along the length of each strut.
Overview
The simplest form of space frame is a horizontal slab of interlocking square pyramids built from aluminium or tubular steel struts. In many ways this looks like the horizontal jib of a tower crane repeated many times to make it wider. A stronger form is composed of interlocking tetrahedral pyramids in which all the struts have unit length. More technically this is referred to as an isotropic vector matrix or in a single unit width an octet truss. More complex variations change the lengths of the struts to curve the overall structure or may incorporate other geometrical shapes.
History
Space frames were independently developed by Alexander Graham Bell around 1900 and Buckminster Fuller in the 1950s. Bell's interest was primarily in using them to make rigid frames for nautical and aeronautical engineering. Few of his designs were realised. Buckminster Fuller's focus was architectural structures; his work had greater influence.
Application in Vehicles
Space frames are sometimes used in the chassis designs of automobiles and motorcycles. In a space-frame, or tube-frame, chassis, the suspension, engine, and body panels are attached to a skeletal space frame, and the body panels have little or no structural function. By contrast, in a unit-body design, the body serves as part of the structure. Tube-frame chassis are frequently used in certain types of racing cars. British manufacturers TVR were particularly well known for their tube-frame chassis designs, produced since the 1950s. Other notable examples of tube-frame cars include the Lotus Seven, Ferrari 360, Lamborghini Gallardo, and Mercedes-Benz SLS AMG.
Space frames have also been used in bicycles, such as those designed by Alex Moulton.
Space frames have also been used in bicycles, such as those designed by Alex Moulton.
7.
Superleggera
Superleggera (translation: super light) is an automobile chassis construction technology developed by Felice Bianchi Anderloni of Italian coachbuilder Carrozzeria Touring. The company was located just north of Milan, near Alfa Romeo, Italian Citroen, and the former Isotta-Fraschini plant. First bodyworks were naturally made for these companies.
Touring licensed Charles Weymann's system of fabric-covered lightweight frames, which led to Touring’s own Superleggera construction. Patented by Carrozzeria Touring in 1936, the superleggera system consists of a structural framework of small diameter tubes that conform to an automobile body's shape and are covered by thin alloy body panels that strengthen the framework. Aside from light weight, the superleggera construction system allows great design and manufacturing flexibility, enabling coachbuilders to quickly construct innovative body shapes.
The superleggera system was primarily based on the use of 'Duraluminium', a material that originated in the zeppelin industry prior to World War I.
The superleggera system was primarily based on the use of 'Duraluminium', a material that originated in the zeppelin industry prior to World War I.
The superleggera system is no longer used in volume automobile production for a number of reasons. Primarily, a superleggera chassis can not meet modern impact resistance standards, and the cost of manufacture and galvanic corrosion between the aluminum body panels and the steel tubular frame are also prohibitive factors. Additionally, the frame tubes used to construct a superleggera chassis are too small and of unsuitable material for mounting suspension components, a disadvantage not found in spaceframe and other chassis systems. Car makers such as Bristol, who had aircraft industry experience, were more successful in countering galvanic corrosion than other manufacturers.
Superleggera is a trademark owned by Carrozzeria Touring Superleggera s.r.l., the modern incarnation of the firm that patented the system in 1936.
Notable automobiles
Carrozzeria Touring licensed the superleggera construction system to Aston Martin, who designed and manufactured superleggera chassis for the DB4 and DB5. Several other manufacturers created automobiles that utilized Carozzeria Touring's superleggera chassis construction technology. Notable examples include:
* Alfa Romeo 8C 2900 Mille Miglia
* Alfa Romeo 1900 Super Sprint
* Alfa Romeo 2600
* Aston Martin DB4 and DB5
* BMW 328 Touring Roadster
* Bristol Cars
* Ferraris 166, 195, 212 and 340 models
* Lamborghini 350GT
* Lancia Flaminia Convertible
* Pegaso Z-102
* Alfa Romeo 8C 2900 Mille Miglia
* Alfa Romeo 1900 Super Sprint
* Alfa Romeo 2600
* Aston Martin DB4 and DB5
* BMW 328 Touring Roadster
* Bristol Cars
* Ferraris 166, 195, 212 and 340 models
* Lamborghini 350GT
* Lancia Flaminia Convertible
* Pegaso Z-102
Akhirnya selesai juga tentang chassis ini, maaf tidak saya translate ke bhs. Indonesia, karena akan membuat pengertiannya menjadi beda. Thanks juga untuk Kaskus dan agan Purrfect yang memberi sumber bahasan ini.
The Beginning
Oke guys, kali ini saya akan mulai bermain blog, setelah sekian lama saya tidak membuka blog ini dan akan membenahi blog ini-> Under Reconstruction
Langganan:
Postingan (Atom)